Kebutuhan buah kelapa sawit meningkat tajam seiiring meningkatnya CPO dunia, seperti yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini terutama sejalan dengan peningkatan kebutuhan untuk industri turunan dan pengembangan bioenergy sebagai alternatif bahan bakar (Ditjebun, 2012). hal ini mendorong investor dari dalam negeri maupun luar negeri untuk membangun perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Perkembangan luas area perkebunan kelapa sawit yang revolusioner mulai terjadi
sejak tahun 1980-an. Perkembangannya sangat pesat hingga pada tahun 2017 luas
area perkebunan sawit mencapai sekitar 14 juta hektar. Padahal pada awal tahun
1980-an, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih sekitar 249 ribu
hektar (Ditjenbun, 2018).
Permintaan buah kelapa sawit tersebut menyebabkan dibutuhkannya lahan yang
lebih banyak untuk menanam kelapa sawit, sementara lahan mineral jumlahnya
terbatas. Berdasarkan data dari BBSDLP tahun 2011, Indonesia memiliki lahan
gambut sebesar 14.905.574 hektar yang tersebar di Sumatra, Kalimantan dan
Papua. 40-50% lahan gambut tersebut potensial untuk dikembangkan untuk
pertanian dan perkebunan. Oleh karena itu, dilakukan pengelolaan lahan gambut
untuk menanam tanaman kelapa sawit.
Lahan gambut merupakan lahan dengan tanah jenuh air, terbentuk dari endapan
yang berasal dari penumpukan residu jaringan masa lampau yang melapuk dengan
ketebalan lebih dari 50 cm (Rancangan Standard Nasional Indonesia-R-SNI, Badan
Sertifikasi Nasional, 2013). Lahan gambut memiliki kandungan organik (senyawa
karbon) sangat tinggi yaitu 6-91% di seluruh lapisan. Tidak semua tanaman bisa
tumbuh di lahan gambut, kelapa sawit adalah salah satunya.
Lahan gambut merupakan lahan yang potensial untuk tanaman kelapa sawit.
Produksi kelapa sawit pada lahan gambut bisa mencapai 20 – 25 ton/ha/tahun,
sehingga tidak kalah jika dibandingkan dengan produksi kelapa sawit pada jenis
tanah lain (Setiadi, 1999). Berdasarkan data dari Ditjen Perkebunan Kementrian
Pertanian (2011), luas lahan gambut hingga tahun 2011 yang dimanfaatkan untuk
pengembangan perkebunan sawit adalah seluas 1.539.579 Ha.

Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit ini bisa menjadi peluang
yang bagus bagi perusahaan asuransi karena akan menjadi sumber premi tambahan
untuk perusahaan. Namun, hal yang harus menjadi perhatian bagi perusahaan
asuransi adalah tanaman sawit ini rentan untuk mengalami kerugian akibat
kebakaran. Berikut adalah tabel yang menunjukan perbandingan premi dan klaim
asuransi tanaman sawit yang diambil dari BPPDAN tahun underwriting 2013-2019.


Terlihat dalam kurva di atas bahwa loss ratio dari tanaman
sawit ini selalu di atas 100% setiap tahunnya. Hal ini karena risiko kebakaran
yang terjadi pada perkebunan sawit masih sulit untuk dicegah. Penyebab
kebakaran di perkebunan kelapa sawit ini bisa dibagi menjadi dua yaitu faktor
manusia dan faktor alam.
Faktor manusia menjadi moral hazard yang bisa memicu terjadinya kebakaran.
Contoh moral hazard adalah yang bisa memicu kebakaran pada perkebunan sawit :
·
Membuang puntung rokok sembarangan
di dalam kebun
·
Membiarkan kebun kotor dibenuhi
semak belukar, alang-alang
·
Membakar kebun dengan sengaja
Faktor yang kedua adalah faktor alam. Faktor alam ini
berkaitan dengan kondisi musim yang terjadi di Indonesia. Pada saat musim
kemarau, curah hujan sebagai sumber air utama menjadi sangat rendah
sehingga menimbulkan situasi defisit air atau kekeringan.
Tanaman sawit yang tumbuh pada lahan gambut memiliki exposure terhadap
kebakaran lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman sawit yang tumbuh pada lahan
mineral. Pada saat musim kemarau, permukaan air tanah pada lahan gambut
mengalami penurunan yang terjadi baik secara alami maupun akibat system
drainase, maka lapisan tanah gambut (terutama gambut tembal) menjadi sangat
kering dan mudah terbakar. Analisis data riwayat kebakaran di Global Forest
Watch Fires juga menegaskan bahwa kebakaran cenderung terkonsentrasi pada
konsesi pertanian dan lahan gambut di Indonesia.
Kebakaran
pada tanaman sawit yang ditanam di lahan mineral terjadi pada permukaan tanah, sementara
kebakaran pada lahan gambut terjadi di bawah permukaan tanah. Hal ini terjadi
karena lapisan gambut di bawah permukaan lebih mudah terbakar jika mengalami
kekeringan karena sifat gambut yang mentah (berbentuk serat atau fibrist).
Sebaliknya, lahan gambut di permukaan atas relatif lebih matang (saprist atau
hemist). Oleh karena itu, penanganan kebakaran yang dilakukan pada lahan gambut
berbeda dengan lahan mineral.
Penanganan kebakaran pada lahan tanah cukup
dengan penyemprotan air di permukaan tanah. Sementara, penanganan tersebut
tidak cukup untuk kebakaran yang terjadi pada lahan gambut. Penggenangan lahan
dianggap jauh lebih efektif dalam menangani kebakaran di lahan gambut, yaitu
dengan segera menutup seluruh pintu-pintu air di sekitar lokasi lahan
yang terbakar dan memompa air ke dalam lahan yang terbakar.
Dikarenakan risikonya lebih tinggi, maka underwriter harus lebih berhati-hati
dalam melakukan akseptasi tanaman sawit yang ditanam pada lahan gambut. Rate
premi yang diterapkan juga harus lebih tinggi untuk tanaman sawit yang ditanam
pada lahan gambut dibandingkan dengan lahan mineral. Selain itu, usia tanaman
juga perlu mendapat perhatian dalam melakukan askeptasi. Hal yang perlu
diperhatikan juga adalah moral hazard dari tertanggung. Seperti disebutkan di
atas, moral hazard dari tertanggung bisa memicu terjadinya risiko kerugian yang
tidak diinginkan.
No comments:
Post a Comment